Senin, 16 September 2013

MISTERI ILMU HITAM DI BANTEN



SIRIH HITAM, Sebuah Cerita Misteri dari Banten
Aku duduk bersila-sikêp di balkon pada pagi tadi saat gerimis menyapa
bumi dengan lembut. Aroma tipis tanah lembab menyiratkan ungkapan
terima kasih kepada sang hujan. Bahkan menjelang subuh, sang halilintar
bercanda dan menggoda orang-orang yang hendak ke masjid, sesekali
bertegur sapa dengan hujan dan angin. Tanah pun geli dengan
colekan-colekannya. Persapaan makluk yang inten ini meniscayakan
keterbangunan emosi dan harmoni. Keakraban sesama penghuni alam
semesta. Pasti, Tuhan mencipta semuanya dengan maksud
silaturrahim-wassalim. Aku tersenyum, sendiri.
Ketekunanku dalam seni beladiri silat beberapa tahun ini, nampaknya
mulai menyatu dalam ritme hidupku. Maènan jurus sapu bumi, sabêt
kalajêngking, patok naga, gêmpur gunung yang dilestarikan keluarga
Bapak, semakin mendekati sempurna. Untuk sampai pada tingkat ketepatan
dan kecepatan gerak nyata satu serangkaian maenan saja memang
membutuhkan lêlaku mengasah roso-pangroso. Ada secercah cahaya untuk
memahami diri. Dengan interaksi energi, mungkin dapat sedikit
memahamkan makna dari pencapaian sebuah pencerahan rasa. Aku harus
mengelana, begitu tekadku enam bulan lalu.
Para sohibku di pengajian dan di perguruan, bertanya tentang lêlaku
itu. Aku hanya diam dan senyum-senyum saja, terkadang kujawab
sembarangan. Tapi, aku yakin, Tuhan menciptakan makluknya dengan
berbagai bentuk dan tempat tidak dengan main-main! Guru fisikaku dulu
pernah cerita, Einstein katanya pernah berkata begitu. Mungkin, usaha
memahami atas ciptaan-Nya akan dapat mengenal diri, atau mungkin disisi
lain juga sebuah proses pemaknaan religi atas sebuah materi dan imateri
itu sendiri. Justru, pada kita, telah terlanjur lekat mewarisi budaya
olah bathin, yang oleh sebagian kita juga dinamai bahkan dihujat dengan
sebutan kurafat, tahayul, mitos, bid'ah, sempalan. Membutuhkan proses
untuk menyikapi dan mencernanya. Paling tidak, bagiku dapat sekedar
sedikit mengungkap apa yang belum terungkap.
Aku masih ingat bagaimana dulu, setelah lulus STM, kuputuskan ingin
jadi seorang jagoan yang tanguh, dengan memegang wilayah, aku akan
dapat upeti. Seiring perjalanan waktu, malahan asyik mengaji dengan
ustad Karim. Sebuah pertemuan yang unik, menolongnya saat ditodong
preman. Pupus, keinginan meningkatkan status keluarga dengan cara yang
kupandang masih cukup rasional. Suatu yang membalikkan nalar-pikirku.
Dan, aku jadi setengah pengangguran kembali. Sebuah pilihan ternyata
bukan harga mati.
Dalam pengembaraan, sampailah kuinjakkan kaki di bumi paling barat
pulau Jawa., dan bertemu dengan seorang jawara yang kuyakini mampu
memberi sedikit menjawab kegelisahan bathin.
Saat kunyatakan niatku, ia bertanya, " Apa yang mane inginkan anak
muda?".
"Saya ingin jadi orang sakti Bah!".
Ia berguman,"Gile mane, Abah gak bisa kasih apa-apa, Tuhan yang bisa
kasih".
Pada beberapa hari tinggal di rumah Abah, saat kami duduk di bale-bale,
tiba-tiba Abah meloncat ke halaman dan mengajak berbagi ilmu.
"Mane punya maenan, cona unjuk ke Abah", pancing Abah.
Aku turun lalu pasang kuda-kuda.
"Mane siap"
"Abah jual, ane beli"
Tiba-tiba,"Awas kepala!"
Meskipun udah berumur enam puluhan, gerakannya masih gesit dan ligat.
Gerakan cakar maung-nya masih bertenaga berusaha merobek muka. Dengan
jurus sapu bumi, sambil menghindar memosot kebawah, sekaligus secara
tiba-tiba kumainkan jurus patok naga. Abah surut ke belakang dengan
kaki meloncat, sebuah gerakan kombinasi sambil berputar badan dan
tangan mencengkeram, pusaran maung! Kami berhadapan kembali.
"Lumayan juga mane. Ayo kita lanjutkan", pinta Abah.
"Siap bah".
Tanpa aba-aba lagi Abah menyerang dengan terkaman dan sebetan. Akun
gunakan kuda-kuda kalajengking. Gerakan Abah lebih bertenaga dan
terukur. Akupun semakin bersemangat. Jurus demi jurus tak terasa,
sampai akhirnya kudengar pekikan dengan suara terengah.
"Hop! Mane hebat", seringai Abah sambil acungkan dua jempol. Dengan
semangat di berujar, "Kalo Abah masih muda kita melanglang buana".
"Abah bise aje"
"Bener. Selama ini Abah belum dapet lawan setanding, baru mane ni
orangnya". Setelah berhenti sejenak Abah melanjutkan,"Sayangnya
Abah udah tua...", pandanganya menerawang jauh, susah ditebah
maknanya.
Sejak kejadian itu, kita semakin akrab. Abah sangat perhatian dan
sering berdiskusi tentang kanuragan dan kegaiban, sebuah lautan ilmu
yang luas dan kadang aku sulit memahaminya. Abah sangat baik, memang
ada beberapa prinsip hidup yang aku setengah hati untuk bersetuju.
Pemahaman materi dan imateri, memang membolehkan orang menentukan dan
memilih metodenya, suatu proses, kadang lebih penting dan bermakna
dibanding sebuah hasil. Dari lelaku itulah, kadar keyakinan disegarkan,
ditumbuhkan bahkan dihidupkan dari mati surinya.
Hari berlalu terasa tak terasa sudah hampir dua bulan aku meninggalkan
rumah. Tiba suatu malam aku berkata kepada Abah, masih dengan sikap
ragu.
"Bah, sebenarnya, ane punya niat nyari sirih hitam".
Abah dengan serius memandangiku, "Gile mane!". Ia melanjutkan,
"Buat apa mane nyari".
"Ya, biar jadi orang sakti. Gampang matiin, susah dimatiin, susah
dicari orang".
"Ada juga orang Jakarta yang nekat".
"Memang ada bah yang namanya sirih hitam", tanyaku gusar. Nama
itupun aku peroleh dari sebuah majalah supranatural.
"Mane dah siap mate"
"Siap bah. Mati dah udah sebuah kepastian", jawabku mantap dan
yakin.
"Ane tau", lalu Abah bangkit dari duduk silanya masuk ke dalam
rumah. Sebentar kemudian keluar, membawa pipa besar, duduk kembali,
sambil menyulut rokok kretek. Satu hisapan, satu hembusan asap, satu
helaan nafas dalam, lalu berkata,"Mane puasa pati geni dulu,
bersihkan jiwa raga. Baru nanti Abah anter mane ke Cibaliung".
Setelah usai jalani ritual, kami berangkat ke hutan Cibaliung,
menerobos pekatnya kabut malam dan lebatnya pepohonan. Dingin, lembab,
bau tanah dan dedaunan serasa cepat menjadi teman akrab kami. Hingga
pada lewat tengah malam. Ada secercah cahaya jatuh di dekat sebuah
pohon besar.
"Gus, mane ambil, cepat" printah Abah.
Dengan tekad bulat, aku menuju tempat jatuhnya cahaya. Sekelebat tampak
tiga daun sirih hitam melayang-layar, sitinggi pinggang dari tanah,
bagaikan kepakan sayar yang pada permukaan daunnya berpendar-pendar
bersinar redup bagai dilumuri minyak zaitun. Aku pusatkan perhatian,
kutebek dengan dua tangan, satu, dua, tiga. Kugemgam erat dengan tangan
kanan. Pasrah akan hidup-mati, mohon perlindungan Tuhan nYang Maha
Memiliki.
"Gus! Guus! ...ada telpon dari ustad Karim!", teriakan ibu
menyadarkan lamunanku. Aku tersenyum sendiri. Sebuah pengalaman bathin
yang luar biasa, berinteraksi bersinergi dengan sesama makluk Tuhan.
Anehnya, justru hambar keinginan jadi sakti, tapi ingin merasakan
kelembutan dan damai. Memang akhirnya, persentuhan dengan pergulatan
hidup-mati akan melahirkan hidup baru. Persentuhan energi kami, tanpa
menimbulkan friksi, karena komitmen tertinggi, hanya kepada Tuhan.
"Ya...Bu...", jawabku, sambil bangkit dan turun ke bawah.
"Assalamu'alaikum," sapaku. Dan terdengar jawaban di ujung sana
dengan suaranya yang khas milik ustad kami sekeluarga, ringan berisi.
Ternyata, hanya menyampaikan kabar, kalau buku novel yang dipinjam
masih belum selesai dibaca sekaligus ijin mau dipinjam anaknya.
"Ga ape-ape ustad ... Wa'alaikum salam", terdengar terima kasih
dan salam.
Gerimis mulai reda, orang-orang mulai berlalu lalang di gang, menuju
tempat kerja, tempat tujuan. Kadang, bukan tujuan itu sendiri yang
menjadi tujuan kita. Namun, aku masih tidak takut bila suatu saat
menemukan sebuah tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar